Fhanee La
Selalu di update tiap malam minggu
Total Tayangan Halaman
Selasa, 31 Juli 2018
Minggu, 21 Januari 2018
Author's Note
To my Readers...
waduuuh... ini Author ngapain sih manjang-manjangin tali kelambu pake note satu halaman?
hahahaha
tapi buat Readers-ku, aku cuma mau ngucapin terima kasih
terima kasih sudah bersama selama hampir dua tahun ini
terima kasih juga selalu sabar menanti
dan juga maaf
maaf karena kelamaan posting
maaf bikin kalian gemes sama alur ceritanya
maaf juga karena mungkin ending-nya tidak seperti yang diharapkan
sebenarnya ada hal yang membuat Author mengubah ending, tapi ya sudahlah
yang jelas sampai di sini dulu perjumpaan kita
Author mau rehat dulu
semoga kita akan bertemu di kisah baru
*Author kangen Alexi dan Adrian huhhuhu*
sampai jumpa Readers.....
Regards
Fhanee La Mariposa
LOVE MUSICAL Extraordinary (Epilog)
Epilog
Tepuk tangan meriah
menutup pertunjukkan itu. Tak semewah pementasan Broadway, tapi hatinya lebih
bangga bisa menyelesaikan. Senyumnya lebih lebar. Seakan-akan ini adalah
pementasan terakhirnya.
Para pemain memberikan salam terakhirnya. Perlahan tirai menutup dan
menjadi tanda berakhirnya pementasan itu. Suasana di bali panggung kembali
sibuk.
Ia berhasil menampar balik keadaan.
‘Aku masih berdiri’
Pertunjukkan telah berakhir, tapi perjuangan masih panjang. Generasi
yang baru akan membawa mimpi-mimpi membumbung lebih jauh melampaui angannya.
Akhirnya, ia bisa menutup matanya dengan tenang.
‘Kak, aku berhasil’
Tamat
LOVE MUSICAL Extraordinary (Musikal 210)
Musikal 210
Sebuah titik balik dari satu kali kesempatan hidup.
Memakai gaun putih dengan riasan paling cantik di dunia. Ribuan ucapan selamat
mengalir. Akan tetapi, pada akhirnya hanyalah rasa gugup yang menemani. Beribu
canda tak akan bisa mengalihkan perhatian. Mungkin tangis haru justru lebih
cocok di saat ini.
Ini adalah hari pernikahannya. Butuh bertahun-tahun
untuk meyakinkan kalau ia akan bersedia menerima sebuah lamaran. Dari seorang
pria yang juga butuh waktu hingga tahunan untuk terus berusaha dan bertahan.
Untuk bisa berada di momen seperti ini adalah akhir manis dari perjuangan pada
perasaan masing-masing.
“Jelek. Tante jelek deh kalau lagi gugup”.
Ririn meninju perut Adrian, “Jangan pernah mengejek
seorang pengantin wanita di hari pernikahannya. Tabu tahu!”
“Itulah, Rin. Terkadang aku merasa dia ini bukan
keponakanku,” Tifa mengoceh kesal. “Sudah sana, pergi ke tempat Dave! Lihat,
apakah persiapan di sana sudah selesai?”
Adrian terkekeh, “Om Dave sangat mencintaimu. Kalau
kalian sudah menikah nanti, aku tidak akan punya kesempatan lagi untuk menggoda
Tante seperti ini. Front pembela Latifa Kusuma Ningsih akan bertambah”.
Tifa tersenyum seraya merentangkan tangan,
“Kemarilah”.
Perasaan rindu meluap-luap ketika Adrian memeluk Tifa.
Padahal tantenya hanya menikah, bukan pergi jauh. Entah kenapa rasanya ia lebih
berat melepaskan daripada neneknya.
“Aku lebih mencintai Tante daripada dia”.
“Itu tak akan tergantikan,” janji Tifa.
Di tengah perasaan haru itu, seorang petugas EO
menghampiri. Wajahnya tampak berseri.
“Janji suci sudah selesai. Selamat, Anda sudah resmi
menjadi nyonya Blackwell”.
Adrian dan Ririn serempak memeluk Tifa. Senyum Tifa
melebar, ia berusaha menahan tangis harunya.
“Ayo bersiap-siap, kita akan keluar sebentar lagi”.
Adrian melenggangkan tangannya. Tifa menyambut dengan
semangat lalu ia menoleh ke belakang. Ririn mengacungkan sinyal ‘oke’ dengan
jarinya. Gadis itu akan menjadi pembawa gaunnya dan ia akan berjalan didampingi
oleh Adrian.
Mereka keluar dari kamar rias. Alunan musik romantis
mengiringi langkah mereka. Semua mata mengarah pada tiap langkahnya. Adrian
mengantarkan hingga di depan sang pemujanya. Untuk pertama kalinya Dave
menyentuh Tifa sebagai miliknya utuh. Tak ada yang pelukis terkenal yang bisa
meniru indahnya pemandangan ini dan tak seorang penulis pun yang sanggup
mendefinisikan rasa bahagianya.
Kini mereka menyatu dalam suatu ikatan pernikahan.
July hanya bisa mengusap air mata harunya. Adrian,
Ririn, serta para tamu membalas dengan tepukan meriah. Ternyata kebahagiaan itu
juga menular. Ada momen merah jambu yang menyelimuti hari itu.
ooOoo
Pesta kembali berlanjut. Semua terasa meriah, tapi
kekeluargaan lebih terasa. Hal itu karena Tifa sengaja memadukan konsep pesta
barat dengan outdoor party. Ia memang tak suka dengan konsep
kedaerahan yang membatasi antara tamu dan mempelai. Ia ingin berbincang dan
menari bersama karena ini adalah pestanya. Semua orang harus bahagia
bersamanya.
Hal itu juga diperkuat dengan persetujuan keluarga
Dave yang memang berasal dari Inggris. Mereka justru akan bingung jika harus
mengurus ini-itu yang tak terbiasa dengan kultur mereka. Meski July sempat
mengomel karena Tifa sama sekali meninggalkan budaya, tapi karena konsepnya
yang mewah dan tidak ribet, akhirnya ia mengalah.
Dansa pertama dibuka oleh kedua mempelai. Dave dan
Tifa menampilkan dansa romantis yang membuat semua orang iri. Tanpa ragu Adrian
mengajak neneknya untuk ikut berdansa. Hal itu mengundang tawa semua orang.
Namun, keduanya seolah tak peduli. July justru menunjukkan kebolehan waltz-nya. Tawa sindiran itu berubah
menjadi tepuk tangan kagum. Siapa sangka tarian seorang nenek justru mencuri
perhatian.
Beberapa pasangan lain ikut berdansa. Seperti Riani,
Gloria, dan Hana. Tentunya mereka bersama pasangan masing-masing. Para anak
muda juga tak mau kalah. Ben dan Wenda, serta Kemal dan Priyanka. Fi yang
datang bersama Rafi juga tak malu-malu menunjukkan kemesraan mereka.
“Uuh, mereka semua dansa,” keluh Andani. “Aku jadi
iri”.
“Kamu gak sendiri, An,” Ririn terkekeh. “Ada aku dan
Jane”.
Anjani justru tak berminat untuk bergabung dalam
tarian itu. Musik berubah. Tiba-tiba hentakan musik lebih bersemangat. Dansa
romantis itu berganti menjadi tarian penuh semangat.
Dari pintu masuk, terlihat beberapa tamu yang datang.
Andani seperti tersengat lebah saat melihat sosok Mori tersenyum padanya. Ia
tak bisa mengucek mata karena terhalang maskara tebal, tapi saat ia membelalakan
mata ia jadi yakin kalau sosok yang ia lihat adala Jiro. Kali ini ia tak peduli
dengan heels 17 cm-nya, ia berlari
dan melompat dalam pelukan pemuda itu. Ia tak mau melepaskan sedetik pun,
bahkan Hiro yang menyapanya harus merasakan rasanya diabaikan.
“Wah, sungguh kejutan kalian ada di sini. Bukannya
kalian sibuk di sana?” sapa Ririn.
“Hisashiburi,
minna,” Hiro menggeleng-geleng saat melihat cara Jiro membujuk Andani yang
merajuk. “Ahh, gak heran kenapa Jiro tergila-gila padanya”.
“Bagaimana caranya kalian bisa kemari?” tanya Anjani.
“Segala upaya,” Hiro terkekeh. “Aku mau memberi salam
pada Miss Tifa dan Davu-san. Setelah itu aku juga mau berdansa.
Ada yang mau menemaniku?”
“Anjani sedang free
kok,” Ririn dengan usilnya mendorong Anjani hingga gadis itu hampir terjungkal.
“Gomen, Senpai. Aku mau menikmati
makanan enak”.
“Hei, Rin—aku—”
Hiro dengan senang hati menarik Anjani agar
bersamanya. Ririn hanya tertawa melihat bagaimana Anjani harus menahan malunya
ketika diajak Hiro menari. Namun, Hiro meyakinkannya kalau tak akan ada yang
memperhatikan. Di sini semua orang sedang berpesta, bahkan kedatangan mereka
tak ada yang mengacuhkan.
Ririn mengabaikan tawa ceria dari orang-orang yang
sedang menari. Ia tak punya partner. Sebelumnya Adrian berjanji untuk mengajaknya
berdansa, tapi sepertinya ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menari
bersama tantenya.
Ia kembali menatap pintu masuk. Tak ada. Benar-benar
tak ada yang datang lagi. Padahal begitu melihat kedatangan Hasegawa
bersaudara, ia berharap kalau Alexi juga bersama mereka. Akan tetapi, ia baru
ingat kalau Alexi di Korea dan duo Hasegawa itu di Australia. Dua Negara, dua
benua. Australia cukup dekat dengan Indonesia, tapi Korea perlu waktu setengah
hari agar bisa sampai.
Desah napas terdengar lebih berat. Di saat semua orang
berkumpul bersama orang terkasih, ia justru merasa kesepian. Tak bermaksud
egois, tapi ia juga ingin merasakan kebahagian itu. Sayang, ia harus bertahan
dengan kesabaran. Penantiannya pasti akan dibayar mahal.
“Do you miss me?”
Satu detik. Dua detik. Tiga….
Ririn berbalik. Di saat itulah waktu terasa terhenti.
Hanya gurat senyum pemuda itu yang bergerak perlahan. Ririn ingin memastikan
bahwa sekarang ia tidak sedang bermimpi. Musik kembali bermain, orang-orang
kembali melenggokan tubuh, dan angin yang menyisir helaian rambut, ketika
itulah ia baru sadar kalau sosok di hadapannya ini bukan khayalan. Penantiannya
telah kembali. Ririn membalas senyumannya.
“Yeah, I miss
you”.
Langganan:
Postingan (Atom)