Total Tayangan Halaman

Selasa, 31 Juli 2018

CERPEN



Cantik Tak Cantik


 

Kutatap semua peralatan make up-ku yang ada di atas meja rias. Mulai dari perona pipi yang jumlahnya setengah lusin, pensil alis dan garis mata yang bergerumul dalam sebuah gelas kaca, kuas-kuas beraneka bentuk, hingga perona mata dan lipstik yang warnanya sudah melebihi pelangi. Belum lagi krim-krim penyamar noda dari berbagai merek. Kupikir ini sudah bukan meja rias, tapi jualan kosmetik.

Kemudian kupatut wajahku di cermin. Mau kubuat apa wajah ini. Menor seperti tante-tante atau elegan bak selebriti Hollywood? Entahlah, mana yang cocok, yang jelas aku punya, aku bisa, dan aku harus tampil cantik.

Cantik. C-A-N-T-I-K. Kata itu sudah aku pelajari sejak aku belajar membaca. Namun, makna cantik baru kudapatkan setelah bertahun-tahun aku berusaha menjadi cantik. Cantik bukan hanya sekadar kata sifat, tapi juga kata benda.

Banyak orang yang jatuh karena cantik. Banyak juga orang yang menjatuhkan dirinya karena cantik. Semua orang ingin cantik. Entah itu kecantikan atau wanita cantik.

Aku lupa kapan terakhir aku tak cantik. Seingatku aku masih belia. Belum mengenal dunia apalagi derita. Aku bahagia. Langkah kakiku terasa ringan saat melangkah. Sampai aku heran kenapa semua orang berlomba-lomba untuk tampil cantik. Memoles ini, memoles itu. Menurutku itu topeng, tapi mereka bilang itu cantik.

Dulu aku tak mengerti cantik.

Lalu aku mencoba mempercantik diri. Mereka bilang cantik itu dari dalam diri. Aku menjadi orang yang baik hati. Menolong sana, menolong sini. Sampai akhirnya kebaikkan hatiku dimanfaatkan orang lain. Mereka datang di saat senag dan hilang di saat sedih. Aku ditinggalkan karena aku tak cantik.

Aku muak dengan hati yang cantik.

Akhirnya wajah ini kupermak juga. Beli kosmetik ini, beli kosmetik itu. Aku pun menjadi primadona kala itu. Kaum adam silih berganti menghampiri. Aku bagai bunga yang dikelilingi lebah. Aku kembali bahagia. Senyumku selalu mengembang tiap kali kaki melangkah.

Aku pun jadi cantik.

Namun, cantik ini membuatku jadi serakah. Halal, haram, hantam. Aku tak peduli bila itu milik orang lain. Selama aku bisa mendapatkan dengan kecantikkanku, kenapa tidak? Salah sendiri jadi tidak cantik! Sudah tahu dunia ini kejam. Terlalu kejam untuk orang yang tidak cantik.

Aku benar-benar lupa dengan hati yang cantik.

Mungkin ini sudah batas akhir aku mencari makna cantik. Aku muak, muak dengan semua kata cantik. Kulemparkan semua alat sulap cantikku yang ada di meja. Semua terserak di lantai. Mengadah padaku seolah bertanya, kenapa kami di sini?

Hanya tersisa satu di sana. Dengan semua amarahku, kugoreskan saja dari pipi kanan menuju pipi kiri. Masih kurang. Kubuat tiga garis melintang di keningku. Terakhir, kupanjangkan garis senyumku.

Sempurna. Kini aku terlihat cantik. Dengan semua warna merah yang menyelimuti wajahku. Inilah kencatikkan yang selama ini aku dambakan.

Namun, warna merah itu menetes deras. Nyeri terasa. Kulirik tangan kananku. Ternyata aku memegang pecahan kaca. Aku tertawa. Sangat keras dan untuk pertama kalinya aku tertawa sekeras ini.

Ironi, bukan?




Palembang

12.19 A.M.

Minggu, 21 Januari 2018

Author's Note



To my Readers...


waduuuh... ini Author ngapain sih manjang-manjangin tali kelambu pake note satu halaman?
hahahaha
tapi buat Readers-ku, aku cuma mau ngucapin terima kasih
terima kasih sudah bersama selama hampir dua tahun ini
terima kasih juga selalu sabar menanti
dan juga maaf
maaf karena kelamaan posting
maaf bikin kalian gemes sama alur ceritanya
maaf juga karena mungkin ending-nya tidak seperti yang diharapkan
sebenarnya ada hal yang membuat Author mengubah ending, tapi ya sudahlah
yang jelas sampai di sini dulu perjumpaan kita 
Author mau rehat dulu
semoga kita akan bertemu di kisah baru
*Author kangen Alexi dan Adrian huhhuhu*
sampai jumpa Readers.....

Regards

Fhanee La Mariposa


 

LOVE MUSICAL Extraordinary (Epilog)




Epilog

Tepuk tangan meriah menutup pertunjukkan itu. Tak semewah pementasan Broadway, tapi hatinya lebih bangga bisa menyelesaikan. Senyumnya lebih lebar. Seakan-akan ini adalah pementasan terakhirnya.
Para pemain memberikan salam terakhirnya. Perlahan tirai menutup dan menjadi tanda berakhirnya pementasan itu. Suasana di bali panggung kembali sibuk.
Ia berhasil menampar balik keadaan.
‘Aku masih berdiri’
Pertunjukkan telah berakhir, tapi perjuangan masih panjang. Generasi yang baru akan membawa mimpi-mimpi membumbung lebih jauh melampaui angannya. Akhirnya, ia bisa menutup matanya dengan tenang.
‘Kak, aku berhasil’


Tamat



LOVE MUSICAL Extraordinary (Musikal 210)





Musikal 210




Sebuah titik balik dari satu kali kesempatan hidup. Memakai gaun putih dengan riasan paling cantik di dunia. Ribuan ucapan selamat mengalir. Akan tetapi, pada akhirnya hanyalah rasa gugup yang menemani. Beribu canda tak akan bisa mengalihkan perhatian. Mungkin tangis haru justru lebih cocok di saat ini.
Ini adalah hari pernikahannya. Butuh bertahun-tahun untuk meyakinkan kalau ia akan bersedia menerima sebuah lamaran. Dari seorang pria yang juga butuh waktu hingga tahunan untuk terus berusaha dan bertahan. Untuk bisa berada di momen seperti ini adalah akhir manis dari perjuangan pada perasaan masing-masing.
“Jelek. Tante jelek deh kalau lagi gugup”.
Ririn meninju perut Adrian, “Jangan pernah mengejek seorang pengantin wanita di hari pernikahannya. Tabu tahu!”
“Itulah, Rin. Terkadang aku merasa dia ini bukan keponakanku,” Tifa mengoceh kesal. “Sudah sana, pergi ke tempat Dave! Lihat, apakah persiapan di sana sudah selesai?”
Adrian terkekeh, “Om Dave sangat mencintaimu. Kalau kalian sudah menikah nanti, aku tidak akan punya kesempatan lagi untuk menggoda Tante seperti ini. Front pembela Latifa Kusuma Ningsih akan bertambah”.
Tifa tersenyum seraya merentangkan tangan, “Kemarilah”.
Perasaan rindu meluap-luap ketika Adrian memeluk Tifa. Padahal tantenya hanya menikah, bukan pergi jauh. Entah kenapa rasanya ia lebih berat melepaskan daripada neneknya.
“Aku lebih mencintai Tante daripada dia”.
“Itu tak akan tergantikan,” janji Tifa.
Di tengah perasaan haru itu, seorang petugas EO menghampiri. Wajahnya tampak berseri.
“Janji suci sudah selesai. Selamat, Anda sudah resmi menjadi nyonya Blackwell”.
Adrian dan Ririn serempak memeluk Tifa. Senyum Tifa melebar, ia berusaha menahan tangis harunya.
“Ayo bersiap-siap, kita akan keluar sebentar lagi”.
Adrian melenggangkan tangannya. Tifa menyambut dengan semangat lalu ia menoleh ke belakang. Ririn mengacungkan sinyal ‘oke’ dengan jarinya. Gadis itu akan menjadi pembawa gaunnya dan ia akan berjalan didampingi oleh Adrian.
Mereka keluar dari kamar rias. Alunan musik romantis mengiringi langkah mereka. Semua mata mengarah pada tiap langkahnya. Adrian mengantarkan hingga di depan sang pemujanya. Untuk pertama kalinya Dave menyentuh Tifa sebagai miliknya utuh. Tak ada yang pelukis terkenal yang bisa meniru indahnya pemandangan ini dan tak seorang penulis pun yang sanggup mendefinisikan rasa bahagianya.
Kini mereka menyatu dalam suatu ikatan pernikahan.
July hanya bisa mengusap air mata harunya. Adrian, Ririn, serta para tamu membalas dengan tepukan meriah. Ternyata kebahagiaan itu juga menular. Ada momen merah jambu yang menyelimuti hari itu.
ooOoo
Pesta kembali berlanjut. Semua terasa meriah, tapi kekeluargaan lebih terasa. Hal itu karena Tifa sengaja memadukan konsep pesta barat dengan outdoor party. Ia memang tak suka dengan konsep kedaerahan yang membatasi antara tamu dan mempelai. Ia ingin berbincang dan menari bersama karena ini adalah pestanya. Semua orang harus bahagia bersamanya.
Hal itu juga diperkuat dengan persetujuan keluarga Dave yang memang berasal dari Inggris. Mereka justru akan bingung jika harus mengurus ini-itu yang tak terbiasa dengan kultur mereka. Meski July sempat mengomel karena Tifa sama sekali meninggalkan budaya, tapi karena konsepnya yang mewah dan tidak ribet, akhirnya ia mengalah.
Dansa pertama dibuka oleh kedua mempelai. Dave dan Tifa menampilkan dansa romantis yang membuat semua orang iri. Tanpa ragu Adrian mengajak neneknya untuk ikut berdansa. Hal itu mengundang tawa semua orang. Namun, keduanya seolah tak peduli. July justru menunjukkan kebolehan waltz-nya. Tawa sindiran itu berubah menjadi tepuk tangan kagum. Siapa sangka tarian seorang nenek justru mencuri perhatian.
Beberapa pasangan lain ikut berdansa. Seperti Riani, Gloria, dan Hana. Tentunya mereka bersama pasangan masing-masing. Para anak muda juga tak mau kalah. Ben dan Wenda, serta Kemal dan Priyanka. Fi yang datang bersama Rafi juga tak malu-malu menunjukkan kemesraan mereka.
“Uuh, mereka semua dansa,” keluh Andani. “Aku jadi iri”.
“Kamu gak sendiri, An,” Ririn terkekeh. “Ada aku dan Jane”.
Anjani justru tak berminat untuk bergabung dalam tarian itu. Musik berubah. Tiba-tiba hentakan musik lebih bersemangat. Dansa romantis itu berganti menjadi tarian penuh semangat.
Dari pintu masuk, terlihat beberapa tamu yang datang. Andani seperti tersengat lebah saat melihat sosok Mori tersenyum padanya. Ia tak bisa mengucek mata karena terhalang maskara tebal, tapi saat ia membelalakan mata ia jadi yakin kalau sosok yang ia lihat adala Jiro. Kali ini ia tak peduli dengan heels 17 cm-nya, ia berlari dan melompat dalam pelukan pemuda itu. Ia tak mau melepaskan sedetik pun, bahkan Hiro yang menyapanya harus merasakan rasanya diabaikan.
“Wah, sungguh kejutan kalian ada di sini. Bukannya kalian sibuk di sana?” sapa Ririn.
Hisashiburi, minna,” Hiro menggeleng-geleng saat melihat cara Jiro membujuk Andani yang merajuk. “Ahh, gak heran kenapa Jiro tergila-gila padanya”.
“Bagaimana caranya kalian bisa kemari?” tanya Anjani.
“Segala upaya,” Hiro terkekeh. “Aku mau memberi salam pada Miss Tifa dan Davu-san. Setelah itu aku juga mau berdansa. Ada yang mau menemaniku?”
“Anjani sedang free kok,” Ririn dengan usilnya mendorong Anjani hingga gadis itu hampir terjungkal. “Gomen, Senpai. Aku mau menikmati makanan enak”.
“Hei, Rin—aku—”
Hiro dengan senang hati menarik Anjani agar bersamanya. Ririn hanya tertawa melihat bagaimana Anjani harus menahan malunya ketika diajak Hiro menari. Namun, Hiro meyakinkannya kalau tak akan ada yang memperhatikan. Di sini semua orang sedang berpesta, bahkan kedatangan mereka tak ada yang mengacuhkan.
Ririn mengabaikan tawa ceria dari orang-orang yang sedang menari. Ia tak punya partner. Sebelumnya Adrian berjanji untuk mengajaknya berdansa, tapi sepertinya ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menari bersama tantenya.
Ia kembali menatap pintu masuk. Tak ada. Benar-benar tak ada yang datang lagi. Padahal begitu melihat kedatangan Hasegawa bersaudara, ia berharap kalau Alexi juga bersama mereka. Akan tetapi, ia baru ingat kalau Alexi di Korea dan duo Hasegawa itu di Australia. Dua Negara, dua benua. Australia cukup dekat dengan Indonesia, tapi Korea perlu waktu setengah hari agar bisa sampai.
Desah napas terdengar lebih berat. Di saat semua orang berkumpul bersama orang terkasih, ia justru merasa kesepian. Tak bermaksud egois, tapi ia juga ingin merasakan kebahagian itu. Sayang, ia harus bertahan dengan kesabaran. Penantiannya pasti akan dibayar mahal.
Do you miss me?”
Satu detik. Dua detik. Tiga….
Ririn berbalik. Di saat itulah waktu terasa terhenti. Hanya gurat senyum pemuda itu yang bergerak perlahan. Ririn ingin memastikan bahwa sekarang ia tidak sedang bermimpi. Musik kembali bermain, orang-orang kembali melenggokan tubuh, dan angin yang menyisir helaian rambut, ketika itulah ia baru sadar kalau sosok di hadapannya ini bukan khayalan. Penantiannya telah kembali. Ririn membalas senyumannya.
Yeah, I miss you”.